Selasa, 06 April 2010

pendidikan islam dalam era globalisasi

Tantangan dan Peluang Pendidikan Islam di Era Globalisasi

Oleh Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. Pada Monday, 21 December 2009 16:12 Dibaca Sebanyak 219

Pengantar

Sejak awal kedatangannya ke Indonesia, pada abad ke-6 M, Islam telah mengambil peran yang amat siginifikan dalam kegiatan pendidikan. Peran ini dilakukan, karena beberapa pertimbangan sebagai berikut.

Pertama, Islam memiliki karakter sebagai agama dakwah dan pendidikan. Dengan karakter ini, maka Islam dengan sendirinya berkewajiban mengajak, membimbing, dan membentuk kepribadian ummat manusia sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Dengan inisiatifnya sendiri, ummat Islam berusaha membangun sistem dan lembaga pendidikan sesuai dengan keadaan zaman, seperti pesantren, madrasah, majelis ta’lim dan sebagainya. Melalui lembaga pendidikan ini telah dilahirkan para ulama, tokoh agama, para pemimpin masyarakat yang telah memberiikan sumbangan yang besar bagi kemajuan bangsa.

Kedua, terdapat hubungan simbiotik fungsional antara ajaran Islam dengan kegiatan pendidikan. Dari satu sisi Islam memberikan dasar bagi perumusan visi, missi, tujuan dan berbagai aspek pendidikan, sedangkan dari sisi lain, Islam membutuhkan pendidikan sebagai sarana yang strategis untuk menyampaikan nilai dan praktek ajaran Islam kepada masyarakat. Adanya penduduk Indonesia yang mayoritas beragama Islam adalah sebagai bukti keberhasilan pendidikan dan dakwah Islamiyah.

Ketiga, Islam melihat bahwa pendidikan merupakan sarana yang paling strategis untuk mengangkat harkat dan martabat manusia dalam berbagai bidang kehidupan. Itulah sebabnya tidak mengherankan, jika ayat 1 sampai dengan 5 surat al-’Alaq, sebagai ayat al-Qur’an yang pertama kali diturunkan, telah mengandung isyarat tentang pentingnya pendidikan. Ayat 1 sampai dengan 5 surat al-’Alaq tersebut artinya: ”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu. Yang telah menjadikan manusia dari segumpal darah. Bacalah dan Tuhanmu yang Maha Mulia. Yang telah mengajarkan manusia dengan pena. Ia mengajarkan manusia tentang segala sesuatu yang belum diketahuinya”. Pada ayat tersebut paling kurang terdapat lima aspek pendidikan: 1)Aspek proses dan metodologi, yaitu membaca dalam arti yang seluas-luasnya: mengumpulkan informasi, memahami, mengklasifikasi atau mengkategorisasi, membandingkan, menganalisa, menyimpulkan dan memverifikasi. 2)Apek guru, yang dalam hal ini Alllah SWT; 3)Aspek murid, yang dalam hal ini Nabi Muhammad SAW dan ummat manusia; 4)Aspek sarana prasarana, yang dalam hal ini diwakili oleh kata qalam (pena); dan 5)Aspek kurikulum, yang dalam hal ini segala sesuatu yang belum diketahui manusia (maa lam ya’lam). Kelima hal tersebut merupakan komponen utama pendidikan.

Sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman, pendidikan Islam telah menampilkan dirinya sebagai pendidikan yang fleksibel, responsif, sesuai dengan perkembangan zaman, berorientasi ke masa depan, seimbang, berorientasi pada mutu yang unggul, egaliter, adil, demokratis, dinamis, terbuka, sepanjang hayat dan seterusnya. Sesuai dengan sifat dan karakternya yang demikian itu pendidikan Islam senantiasa mengalami inovasi dari waktu ke waktu, yaitu mulai dari sistem dan lembaganya yang paling sederhana seperti pendidikan di rumah, surau, langgar, mesjid, majelis ta’lim, pesantren dan madrasah, sampai kepada perguruan tinggi yang modern. Inovasi pendidikan Islam juga terjadi hampir pada seluruh aspeknya, seperti kurikulum, proses belajar mengajar, tenaga pengajar, sarana prasarana, manajemen dan lain sebagainya. Melalui inovasi tersebut, kini pendidikan Islam yang ada di seluruh dunia (termasuk di Indonesia) amat beragam, baik dari segi jenis, tingkatan, mutu, kelembagaan dan lain sebagainya. Kemajuan ini terjadi karena usaha keras dari ummat Islam melalui para tokoh pendiri dan pengelolanya, serta pemerintah pada setiap negara.

Era Globalisasi

Era globalisasi dapat dipahami sebagai suatu keadaan yang ditandai oleh adanya penyatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan lain sebagainya, yang terjadi antara satu negara dengan negara lainnya, tanpa menghilangkan identitas negara masing-masing. Penyatuan ini terjadi berkat kemajuan teknologi informasi (TI) yang dapat menghubungkan atau mengkomunikasikan setiap issu yang ada pada suatu negara dengan negara lain.

Bagi ummat Islam, era globalisasi dalam arti menjalin hubungan, tukar menukar dan transmisi ilmu pengetahuan, budaya dan sebagainya sebagaimana tersebut di atas, sesungguhnya bukanlah hal baru. Globalisasi dalam arti yang demikian, bagi ummat Islam, merupakan hal biasa. Di zaman klasik (abad ke-6 sd 13 M.) ummat Islam telah membangun hubungan dan komunikasi yang intens dan efektif dengan berbagai pusat peradaban dan ilmu pengetahuan yang ada di dunia, seperti India, China, Persia, Romawi, Yunani dan sebagainya. Hasil dari komunikasi ini ummat Islam telah mencapai kejayaan, bukan hanya dalam bidang ilmu agama Islam, melainkan dalam bidang ilmu pengetahuan umum, kebudayaan dan peradaban, yang warisannya masih dapat dijumpai hingga saat ini, seperti di India, Spanyol, Persia, Turki dan sebagainya.

Selanjutnya di zaman pertengahan (abad ke 13-18 M.) ummat Islam telah membangun hubungan dengan Eropa dan Barat. Pada saat itu ummat Islam memberikan kontribusi yang besar bagi kemajuan Eropa dan Barat. Beberapa penulis Barat seperti W.C.Smith, dan Thomas W. Arnold misalnya, mengakui bahwa kemajuan yang dicapai dunia Eropa dan Barat saat ini karena sumbangan dari kemajuan Islam. Mereka telah mengadopsi ilmu pengetahuan dan perabadan Islam tanpa harus menjadi orang Islam.
Pada zaman pertengahan itu, ummat Islam hanya mementingkan ilmu agama saja. Sementara ilmu pengetahuan seperti matematika, astronomi, sosiologi, kedokteran dan lainnya tidak dipentingkan, bahkan dibiarkan untuk diambil oleh Erofa dan Barat. Pada zaman ini Eropa dan Barat mulai bangkit mencapai kemajuan, sementara ummat Islam berada dalam keterbelakangan dalam bidang ilmu pengetahuan dan peradaban.

Di zaman modern (abad ke-19 sampai dengan sekarang) hubungan Islam dengan dunia Eropa dan Barat terjadi lagi. Pada zaman ini timbul kesadaran dari ummat Islam untuk membangun kembali kejayaannya dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi dan peradaban melalui berbagai lembaga pendidikan, pengkajian dan penelitian. Ummat Islam mulai mempelajari kembali berbagai kemajuan yang dicapai oleh Eropa dan Barat, dengan alasan bahwa apa yang dipelajari dari Eropa dan Barat itu sesungguhnya mengambil kembali apa yang dahulu dimiliki ummat Islam.

Namun demikian, hubungan Islam dengan Eropa dan Barat dimana sekarang keadaannya sudah jauh berbeda dengan hubungan Islam pada zaman klasik dan pertengahan sebagaimana tersebut di atas. Di zaman klasik dan pertengahan ummat Islam dalam keadaan maju atau hampir menurun, sedangkan keadaan Eropa dan Barat dalam keadaan terbelakang atau mulai bangkit. Keadaan Eropa dan Barat saat ini berada dalam kemajuan, sedangkan keadaan ummat Islam berada dalam ketertinggalan. Tidak hanya itu saja, keadaan dunia saat ini telah dipenuhi oleh berbagai paham ideologi yang tidak sepenuhnya sesuai dengan ajaran Islam, seperti ideologi capitalisme, materialisme, naturalisme, pragmatisme, liberalisme bahkan ateisme yang secara keseluruhan hanya berpusat pada kemauan manusia (anthropocentris). Hal ini berbeda dengan karakteristik keseimbangan ajaran Islam yang memadukan antara berpusat pada manusia (anthropo-centris) dan berpusat pada Tuhan (theo-centris).

Tantangan Pendidikan Islam

Tantangan pendidikan Islam saat ini jauh berbeda dengan tantangan pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat pada zaman klasik dan pertengahan. Baik secara internal maupun eksternal tantangan pendidikan Islam di zaman klasik dan pertengahan cukup berat, namun secara psikologis dan ideologis lebih mudah diatasi. Secara internal ummat Islam pada masa masa klasik masih fresh (segar). Masa kehidupan mereka dengan sumber ajaran Islam, yakni Al-Qur’an dan al-Sunnah masih dekat, dan semangat militansi dalam berjuang memajukan Islam juga masih amat kuat. Sedangan secara eksternal, ummat Islam belum menghadapi ancaman yang serius dari negara-negara lain, mengingat keadaan negara-negara lain (Eropa dan Barat) masih belum bangkit dan maju seperti sekarang.

Tantangan pendidikan Islam di zaman sekarang selain menghadapi pertarungan ideologi-ideologi besar dunia sebagaimana tersebut di atas, juga menghadapi berbagai kecenderungan yang tak ubahnya seperti badai besar (turbulance) atau tsunami. Menurut Daniel Bell, di era globalisasi saat ini keadaan dunia ditandai oleh lima kecenderungan sebagai berikut.

Pertama, kecenderungan integrasi ekonomi yang menyebabkan terjadinya persaingan bebas dalam dunia pendidikan. Karena, dunia pendidikan menurut mereka juga termasuk yang dipergangkan, maka dunia pendidikan saat ini juga dihadapkan pada logika bisnis. Munculnya konsep pendidikan yang berbasis pada sistem dan infra-struktur, manajemen berbasis mutu terpadu (TQM), interpreneur university dan lahirnya Undang-undang Badan Hukum Pendidikan (BHP) tidak lain, karena menempatkan pendidikan sebagai komoditi yang diperdagangkan. Penyelenggaraan pendidikan saat ini tidak hanya ditujukan untuk mencerdaskan bangsa, memberdayakan manusia atau mencetak manusia yang salih, melainkan untuk menghasilkan manusia-manusia yang economic minded, dan penyelenggaraannya untuk mendapatkan keuntungan material yang sebesar-besarnya.

Kedua, kecenderungan fragmentasi politik yang menyebabkan terjadinya peningkatan tuntutan dan harapan dari masyarakat. Mereka semakin membutuhkan perlakuan yang adil, demokratis, egaliter, transparan, akuntabel, cepat, tepat dan profesional. Mereka ingin dilayani dengan baik dan memuaskan. Kecenderungan ini terlihat dari adanya pengelolaan manajemen pendidikan yang berbasis sekolah (shool based manajemen), pemberian peluang kepada komite atau majelis sekolah/madrasah untuk ikut dalam perumusan kebijakan dan program pendidikan, pelayanan proses belajar mengajar yang lebih memberikan peluang dan kebebasan kepada peserta didik, yaitu model belajar mengajar yang partisipatif, aktif, inovatif, kreatif, efektif dan menyenangkan (Paikem).

Ketiga, kecenderungan penggunaan teknologi tinggi (high technologie) khususnya teknologi komunikasi dan informasi (TKI) seperti komputer. Kehadiran TKI ini menyebabkan terjadinya tuntutan dari masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang lebih cepat, transparan, tidak dibatasi waktu dan tempat. Teknologi tinggi ini juga telah masuk ke dalam dunia pendidikan, seperti dalam pelayanan administrasi pendidikan, keuangan, proses belajar mengajar. Melalui TIK ini para peserta didik atau mahasiswa dapat melakukan pendaftaran kuliah atau mengikuti kegiatan belajar dari jarak jauh (distance learning). Sementara itu peran dan fungsi tenaga pendidik juga bergeser menjadi semacam fasilitator, katalisator, motivator, dan dinamisator. Peran pendidik saat ini tidak lagi sebagai satu-satunya sumber pengetahuan (agen of knowledge). Keadaan ini pada gilirannya mengharuskan adanya model pengelolaan pendidikan yang berbasis teknologi informasi dan teknologi (TIK).

Keempat, kecenderungan interdependensi (kesaling-tergantungan), yaitu suatu keadaan di mana seseorang baru dapat memenuhi kebutuhannya apabila dibantu oleh orang lain. Berbagai siasat dan strategi yang dilakukan negara-negara maju untuk membuat negara-negara berkembang bergantung kepadanya demikian terjadi secara intensif. Berbagai kebijakan hegemoni politik seperti yang dilakukan Amerika Serikat misalnya, tidak terlepas dari upaya menciptakan ketergantungan negara sekutunya. Ketergantungan ini juga terjadi di dunia pendidikan. Adanya badan akreditasi pendidikan baik pada tingkat nasional maupun internasional, selain dimaksudkan untuk meningkatkan mutu pendidikan, juga menunjukkan ketergantungan lembaga pendidikan terhadap pengakuan dari pihak eksternal. Demikian pula munculnya tuntutan dari masyarakat agar peserta didik memiliki keterampilan dan pengalaman praktis, menyebabkan dunia pendidikan membutuhkan atau tergantung pada peralatan praktikum dan magang. Selanjutnya kebutuhan lulusan pendidikan terhadap lapangan pekerjaannya, menyebabkan ia bergantung kepada kalangan pengguna lulusan.

Kelima, kecenderungan munculnya penjajahan baru dalam bidang kebudayaan (new colonization in culture) yang mengakibatkan terjadinya pola pikir (mindset) masyarakat pengguna pendidikan, yaitu dari yang semula mereka belajar dalam rangka meningkatkan kemampuan intelektual, moral, fisik dan psikisnya, berubah menjadi belajar untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang besar. Saat ini sebelum seseorang belajar atau masuk kuliah misalnya, terlebih dahulu bertanya: nanti setelah lulus bisa jadi apa? Dan berapa gajinya?. program-program studi yang tidak dapat menjawab pertanyaan tersebut baik secara langsung maupun tidak langsung, dengan sendirinya akan terpinggirkan atau tidak diminati. Sedangkan program-program studi yang menawarkan pekerjaan dan penghasilan yang baik bagi lulusannya akan sangat diminati. Tidak hanya itu, kecenderungan penjajahan baru dalam bidang kebudayaan juga telah menyebabkan munculnya budaya pop atau budaya urban, yaitu budaya yang serba hedonistik, materialistik, rasional, ingin serba cepat, praktis, pragmatis dan instans. Kecenderungan budaya yang demikian itu menyebabkan ajaran agama yang bersifat normatif dan menjanjikan masa depan yang baik (di akhirat) kurang diminati. Mereka menuntut ajaran agama yang sesuai dengan budaya pop dan budaya urban. Dalam keadaan demikian, tidaklah mengherankan jika mata pelajaran agama yang disajikan secara normatif dan konvensional menjadi tidak menarik dan ketinggalan zaman. Keadaan ini mengharuskan para guru atau ahli agama untuk melakukan reformulasi, reaktulisasi, dan kontekstualisasi terhadap ajaran agama, sehingga ajaran agama tersebut akan terasa efektif dan transformatif.

Penutup

Pendidikan Islam dengan beragam sistem dan tingkatannya dari waktu ke waktu senantiasa mengalami tantangan. Berbagai kemajuan atau ketertinggalan pendidikan Islam sebagaimana yang terdapat dalam sejarah, antara lain disebabkan karena kemampuannya dalam menjawab berbagai tantangan yang dihadapi. Tantangan yang dihadapi pendidikan Islam saat ini jauh lebih berat dibandingkan dengan tantangan yang dihadapi pendidikan Islam di masa lalu. Era globalisasi dengan berbagai kecenderungannya sebagaimana tersebut di atas telah melahirkan berbagai paradigma baru dalam dunia pendidikan. Visi, missi, tujuan, kurikulum, proses belajar mengajar, pendidik, peserta didik, manajemen, sarana prasarana, kelembagaan pendidikan dan lainnya kini tengah mengalami perubahan besar.

Pendidikan Islam dengan pengalamannya yang panjang seharusnya dapat memberikan jawaban yang tepat atas berbagai tantangan tersebut. Untuk menjawab pertanyaan ini, pendidikan Islam membutuhkan sumber daya manusia yang handal, memiliki komitmen dan etos kerja yang tinggi, manajemen yang berbasis sistem dan infra-struktur yang kuat, sumber dana yang memadai, kemauan politik yang kuat, serta standar yang unggul. Untuk dapat melakukan tugas tersebut pendidikan Islam membutuhkan unit penelitian dan pengembangan (research and development) yang terus berusaha meningkatkan dan pengembangkan pendidikan Islam. Hanya dengan usaha yang sungguh-sungguh dan berkesinambungan itulah, pendidikan Islam akan dapat merubah tantangan menjadi peluang.

pendidikan di era globalisasi

TANTANGAN PENDIDIKAN DI ERA GLOBALISASI

Oleh: Armai Arief

Era pasar bebas, atau yang biasa disebut dengan era globalisasi sering didengungkan oleh para pemerhati ekonomi sejak beberapa dekade lalu hingga sekarang ini. Kata “globalisasi” secara populer dapat diartikan menyebarnya segala sesuatu secara sangat cepat ke seluruh dunia.

Robertson dalam Globalization: Social Theory and Global Culture (London, Sage: 1992) mendefinisikan globalisasi sebagai “the compression of the world into a single space and the intensification of conciousness the world as a whole”. Globalisasi juga melahirkan global culture (which) is encompassing the world at the international level.

Globalisasi sebagai sebuah proses mempunyai sejarah yang panjang. Globalisasi meniscayakan terjadinya perdagangan bebas dan dinilai menjadi ajang kreasi dan perluasan bagi pertumbuhan perdagangan dunia, serta pembangunan dengan sistem pengetahuan. Hal ini berarti bahwa terjadinya perubahan sosial yang mengubah pola komunikasi, teknologi, produksi dan konsumsi serta peningkatan paham internasionalisme merupakan sebuah nilai budaya.

Terjadinya era globalisasi memberi dampak ganda; dampak yang menguntungkan dan dampak yang merugikan. Dampak yang menguntungkan adalah memberi kesempatan kerjasama yang seluas-luasnya kepada negara-negara asing. Tetapi di sisi lain, jika kita tidak mampu bersaing dengan mereka, karena sumber daya manusia (SDM) yang lemah, maka konsekuensinya akan merugikan bangsa kita.

Oleh karena itu, tantangan kita pada masa yang akan datang ialah meningkatkan daya saing dan keunggulan kompetitif di semua sektor, baik sektor riil maupun moneter, dengan mengandalkan pada kemampuan SDM, teknologi, dan manajemen tanpa mengurangi keunggulan komparatif yang telah dimiliki bangsa kita.

Terjadinya perdagangan bebas harus dimanfaatkan oleh semua pihak dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk aspek pendidikan, di mana pendidikan diharuskan mampu menghadapi perubahan yang cepat dan sangat besar dalam tentangan pasar bebas, dengan melahirkan manusia-manusia yang berdaya saing tinggi dan tangguh. Sebab diyakini, daya saing yang tinggi inilah agaknya yang akan menentukan tingkat kemajuan, efisiensi dan kualitas bangsa untuk dapat memenangi persaingan era pasar bebas yang ketat tersebut.

SDM yang tangguh, menurut Muslimin Nasution (1998), adalah SDM yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Tugas pendidikan, selain mempersiapkan sumber daya manusia sebagai subjek perdagangan bebas, juga membina penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi yang nyatanya sangat berperan dalam membantu dunia usaha dalam upaya meningkatkan perekonomian nasional.

A. Karakteristik Era Globalisasi

Era globalisasi akan ditandai dengan persaingan ekonomi secara hebat berbarengan dengan terjadinya revolusi teknologi informasi, teknologi komunikasi, dan teknologi industri. Persaingan ini masih dikuasai oleh tuga raksasa ekonomi yaitu Jepang dari kawasan Asia, Uni Eropa dan Amerika Serikat.

Masing-masing menampilkan keunggulan yang dimiliki. Amerika misalnya unggul dalam product technology, yaitu teknologi yang menghasilkan barang-barang baru dengan tingkat teknologi yang tinggi, contoh pembuatan pesawat terbang supersonik, robot, dan lain-lain.

Jerman dan Jepang mengandalkan kelebihan mereka dalam process technology yaitu teknologi yang menghasilkan proses baru dalam pembuatan suatu jenis produk yang sudah ada, misalnya CD (compact disc) pertama kali dibuat oleh Belanda kemudian terus disempurnakan oleh Jepang sehingga menghasilkan CD dengan kualitas yang lebih bagus dan harga lebih murah. Selain ketiganya, belakangan muncul Cina sebagai kekuatan baru ekonomi dunia dengan pertumbuhan ekonominya di atas 9 persen –suatu jumlah tertinggi di dunia.

Kompetisi ekonomi pada era pasar bebas juga ditandai dengan adanya perjalanan lalu lintas barang, jasa, modal serta tenaga kerja yang berlangsung secara bebas, kemudian adanya tuntutan teknologi produksi yang makin lama makin tinggi tingkatannya, sehingga makin tinggi pula tingkat pendidikan yang dituntut dari para pekerjanya.

Kemudian dalam perkembangan selanjutnya, kemajuan teknologi komunikasi menyebabkan tidak adanya jarak dan batasan antara satu orang dengan orang lain, kelompok satu dengan kelompok lain, serta antara negara satu dengan negara lain. Komunikasi antar-negara berlangsung sangat cepat dan mudah. Begitu juga perkembangan informasi lintas dunia dapat dengan mudah diakses melalui teknologi informasi seperti melalui internet. Perpindahan uang dan investasi modal oleh pengusaha asing dapat diakukan dalam hitungan detik.

Kondisi kemajuan teknologi informasi dan industri di atas yang berlangsung dengan amat cepat dan ketat di era globalisasi menuntut setiap negara untuk berbenah diri dalam menghadapi persaingan tersebut. Bangsa yang yang mampu membenahi dirinya dengan meningkatkan sumber daya manusianya, kemungkinan besar akan mampu bersaing dalam kompetisi sehat tersebut.

Di sinilah pendidikan -- termasuk pendidikan Islam -- diharuskan menampilkan dirinya, apakah ia mampu mendidik dan menghasilkan para siswa yang berdaya saing tinggi (qualified) atau justru mandul dalam menghadapi gempuran berbagai kemajuan dinamika globalisasi tersebut.

Dengan demikian, era globalisasi adalah tantangan besar bagi dunia pendidikan. Dalam konteks ini, Khaerudin Kurniawan (1999), memerinci berbagai tantangan pendidikan menghadapi ufuk globalisasi.

Pertama, tantangan untuk meningkatkan nilai tambah, yaitu bagaimana meningkatkan produktivitas kerja nasional serta pertumbuhan dan pemerataan ekonomi, sebagai upaya untuk memelihara dan meningkatkan pembangunan berkelanjutan (continuing development ).

Kedua, tantangan untuk melakukan riset secara komprehensif terhadap terjadinya era reformasi dan transformasi struktur masyarakat, dari masyarakat tradisional-agraris ke masyarakat modern-industrial dan informasi-komunikasi, serta bagaimana implikasinya bagi peningkatan dan pengembangan kualitas kehidupan SDM.

Ketiga, tantangan dalam persaingan global yang semakin ketat, yaitu meningkatkan daya saing bangsa dalam menghasilkan karya-karya kreatif yang berkualitas sebagai hasil pemikiran, penemuan dan penguasaan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Keempat, tantangan terhadap munculnya invasi dan kolonialisme baru di bidang Iptek, yang menggantikan invasi dan kolonialisme di bidang politik dan ekonomi.

Semua tantangan tersebut menuntut adanya SDM yang berkualitas dan berdaya saing di bidang-bidang tersebut secara komprehensif dan komparatif yang berwawasan keunggulan, keahlian profesional, berpandangan jauh ke depan (visioner), rasa percaya diri dan harga diri yang tinggi serta memiliki keterampilan yang memadai sesuai kebutuhan dan daya tawar pasar.

Kemampuan-kemampuan itu harus dapat diwujudkan dalam proses pendidikan Islam yang berkualitas, sehingga dapat menghasilkan lulusan yang berwawasan luas, unggul dan profesional, yang akhirnya dapat menjadi teladan yang dicita-citakan untuk kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

Pertanyaan selanjutnya, apakah yang harus dilakukan oleh dunia pendidikan Islam? Untuk menjawabnya, agaknya kita perlu menengok kerangka pendidikan Islam dalam konteks kenasionalan. Sehingga kita bisa menyiapkan strategi yang tepat menghadapi sebuah tantangan sekaligus peluang tersebut.

Secara kuantitas, perkembangan jumlah peserta didik pendidikan formal Indonesia mulai dari tingkat TK hingga jenjang perguruan tinggi (PT) mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Namun secara kualitas masih tertinggal jauh ketimbang negara-negara lain, baik negara-negara maju, maupun negara-negara anggota ASEAN sekalipun.

Institusi pendidikan Islam dituntut mampu menjamin kualitas lulusannya sesuai dengan standar kompetensi global --paling tidak mampu mempersiapkan anak didiknya terjun bersaing dengan para tenaga kerja asing-- sehingga bisa mengantisipasi membludaknya pengangguran terdidik. Di sini harus diakui, lembaga-lembaga pendidikan Islam ternyata belum siap menghadapi era pasar bebas. Masih banyak yang harus dibenahi; apakah sistemnya ataukah orang yang terlibat di dalam sistem tersebut.

B. Sumber-sumber Kelemahan Bersaing Pendidikan

Pemerintah, sebagai pemegang kebijakan pendidikan seharusnya memberikan sumbangan yang besar dalam mensukseskan program pendidikan. Sebab di antara kelemahan-kelemahan sistem pendidikan di Indonesia adalah karena lemahnya politcal will pemerintah dalam menangani permasalahan pendidikan ini.

Menurut Arief Rahman (2002), setidaknya ada sembilan titik lemah dalam aplikasi sistem pendidikan di Indonesia:

1. Titik berat pendidikan pada aspek kognitif

2. Pola evaluasi yang meninggalkan pola pikir kreatif, imajinatif, dan inovatif

3. Sistem pendidikan yang bergeser (tereduksi) ke pengajaran

4. Kurangnya pembinaan minat belajar pada siswa

5. Kultur mengejar gelar (title) atau budaya mengejar kertas (ijazah).

6. Praktik dan teori kurang berimbang

7. Tidak melibatkan semua stake holder, masyarakat, institusi pendidikan, dan pemerintah

8. Profesi guru/ustadz sekedar profesi ilmiah, bukan kemanusiaan

9. Problem nasional yang multidimensional dan lemahnya political will pemerintah.

Untuk mengantisipasi berbagai kelemahan pendidikan tersebut, diperlukan kerjasama pelbagai pihak. Tidak hanya institusi pendidikan tetapi pemerintah juga harus serius dalam menangani permasalahan ini agar SDM Indonesia memperoleh rating kualitas pendidikan yang memadai. Untuk itu hendaknya dilakukan hal-hal sebagai berikut:

Pertama, orientasi pendidikan harus lebih ditekankan kepada aspek afektif dan psiko motorik. Artinya, pendidikan lebih menitikberatkan pada pembentukan karakter peserta didik dan pembekalan keterampilan atau skill, agar setelah lulus mereka tidak mengalami kesulitan dalam mencari pekerjaan daripada hanya sekadar mengandalkan aspek kognitif (pengetahuan).

Kedua, dalam proses belajar mengajar guru harus mengembangkan pola student oriented sehingga terbentuk karakter kemandirian, tanggung jawab, kreatif dan inovatif pada diri peserta didik.

Ketiga, guru harus benar-benar memahami makna pendidikan dalam arti sebenarnya. Tidak mereduksi sebatas pengajaran belaka. Artinya, proses pembelajaran peserta didik bertujuan untuk membentuk kepribadian dan mendewasakan siswa bukan hanya sekedar transfer of knowledge tapi pembelajaran harus meliputi transfer of value and skill, serta pembentukan karakter (caracter building).

Keempat, perlunya pembinaan dan pelatihan-pelatihan tentang peningkatan motivasi belajar kepada peserta didik sehingga anak akan memiliki minat belajar yang tinggi.

Kelima, harus ditanamkan pola pendidikan yang berorientasi proses (process oriented), di mana proses lebih penting daripada hasil. Pendidikan harus berjalan di atas rel ilmu pengetahuan yang substantif. Oleh karena itu, budaya pada dunia pendidikan yang berorientasi hasil (formalitas), seperti mengejar gelar atau titel di kalangan praktisi pendidikan dan pendidik hendaknya ditinggalkan. Yang harus dikedepankan dalam pembelajaran kita sekarang adalah penguasaan pengetahuan, kadar intelektualitas, dan kompetensi keilmuan dan keahlian yang dimilikinya.

Keenam, sistem pembelajaran pada sekolah kejuruan mungkin bisa diterapkan pada sekolah-sekolah umum. Yaitu dengan menyeimbangkan antara teori dengan praktek dalam implementasinya. Sehingga peserta didik tidak mengalami titik kejenuhan berfikir, dan siap manakala dituntut mengaplikasikan pengetahuannya dalam masyarakat dan dunia kerja.

Ketujuh, perlunya dukungan dan partisipasi komprehensif terhadap praktek pendidikan, dengan melibatkan semua pihak yang berkepentingan terhadap dunia pendidikan terutama masyarakat sekitar sekolah, sehingga memudahkan akses pendidikan secara lebih luas ke kalangan masyarakat.

Kedelapan, profesi guru seharusnya bersifat ilmiah dan benar-benar “profesional”, bukan berdasarkan kemanusiaan. Maksudnya, guru memang pahlawan tanpa tanda jasa namun guru juga seyogianya dihargai setimpal dengan perjuangannya, karena itu gaji dan kesejahteraan guru harus diperhatikan pemerintah.

Kesembilan, pemerintah harus memiliki formula kebijakan dan konsistensi untuk mengakomodasi semua kebutuhan pendidikan. Salah satunya adalah memperhatikan fasilitas pendidikan dengan cara menaikan anggaran untuk pendidikan minimal 20-25 % dari total APBN. Di sini diperlukan political will kuat dari pemerintah dalam menangani kebijakan pendidikan.

Jika kita mau jujur, berbagai kelemahan pendidikan kita seperti disebutkan di atas, pada dasarnya bertitik tolak pada lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang ada. Padahal, SDM merupakan faktor utama yang menjadi indikator kemajuan suatu bangsa, di samping faktor sumber daya alam (SDA) (hayati, non hayati, buatan), serta sumber daya ilmu pengetahuan dan teknologi. Keberhasilan negara-negara Barat adalah didukung oleh peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan hal itu berhubungan dengan pendidikan sebagai wahana pembentukan SDM.

Jadi, permasalahan lemahnya SDM Indonesia pada dasarnya berawal dari rendahnya tingkat pendidikan, lemahnya keahlian dan manajemen serta kurangnya penguasaan teknologi. Lemahnya SDM menyebabkan Indonesia kurang mampu bersaing dengan negara-negara lain, padahal secara fisiografis Indonesia termasuk negara yang memiliki kekayaan alam melimpah tetapi sayangnya tidak dikelola dengan baik karena kualitas SDM-nya yang kurang mendukung.

Sistem pendidikan sangat bergantung pada mutunya, seperti juga halnya barang dikatakan berkualitas dan mempunyai nilai jual yang tinggi karena memiliki mutu yang bagus. Ironis memang jika kita melihat nasib institusi pendidikan di Indonesia berdasarkan mutu pendidikan yang berada pada urutan terakhir di antara 12 negara Asia yang diteliti oleh The Political and Eonomic Risk Consultancy (PERC) tahun 2001, jauh di bawh Vietnam (6).

Hasil survei PERC itu mengacu pada tingkat kualitas lulusan pendidikan kita, dengan argumentasi, untuk mendapatkan tenaga kerja berkualitas tentunya sistem pendidikannya pun harus berkualitas.

Sistem pendidikan yang tidak berkualitas mempengaruhi rendahnya SDM yang dihasilkan, yang pada gilirannya tidak mampu membawa bangsa ini “duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi” dengan bangsa lain.

Lemahnya SDM pendidikan sebagai ekses sistem pendidikan yang tidak berkualitas, memunculkan fenomena masyarakat pekerja (worker society) bak jamur di musim hujan. Ini tentu berbeda dengan sistem pendidikan yang baik, yang memproduksi employee society.

Dalam konteks ini, Alvin Toffler dalam buku The Future Shock (1972) mengatakan, employee dan worker itu berbeda. (1) employee memiliki ciri untuk terus meningkatkan kemampuan teknis termasuk keterampilannya, sedangkan worker menggunakan keterampilan dan pengetahuan yang tetap; (2) employee dapat mengendalikan alat (mesin), sedangkan worker relatif dikendalikan oleh mesin; (3) mesin berkhidmat kepada employee, sedangkan worker berkhidmat kepada mesin; (4) employee pada dasarnya tidak perlu diawasi hanya perlu pembagian tanggung jawab, sedangkan worker harus diawasi melalui garis organisasi; dan (5) employee memiliki sarana produksi yaitu informasi, sedangkan worker tidak memilikinya.

Oleh karena itu, orientasi employee society harus dikedepankan dalam rangka mempersiapkan tenaga kerja ahli di bidang penguasaan teknologi. Karena pada milenium ketiga ini kita dihadapkan pada perubahan besar di bidang ekonomi, Iptek dan sosial budaya.

Kita seharusnya belajar dari Jepang dan Korea Selatan. Walaupun kedua negara tersebut miskin sumber daya alam (SDA), tetapi karena dukungan SDM yang kuat, kedua negara Asia Timur itu menjadi pioneer ekonomi dunia, khususnya di kawasan Asia.

Dalam konteks ini, masyarakat Jepang menurut H.D. Sudjana (2000) memiliki lima karakteristik khusus dalam sikap dan prilaku yang dipandang sebagai akar kekuatan bangsanya, yaitu:

Pertama, emulasi. Yaitu hasrat dan upaya untuk menyamai atau melebihi orang lain. Orang Jepang, baik selaku perorangan atau sebagai warga negara memiliki dorongan untuk tidak ketinggalan oleh orang, kelompok, atau bangsa lain.

Kedua, consensus. Yaitu kebiasaan masyarakat Jepang untuk berkompromi, bukan konfrontasi. Budaya kompromi ini menimbulkan rasa keterlibatan masyarakat yang kuat terhadap kepentingan bersama. Budaya inilah yang menjadi pengikat kuat yang menjadi pengikat dasar (root bindting) kehidupan masyarakat Jepang.

Ketiga, futurism. Yaitu mempeunyai pandangan jauh ke depan, masyarakat Jepang mempunyai keyakinan bahwa harkat individu akan naik apabila seluruh kelompok atau bangsa naik. Oleh karena itu kemajuan dan keberhasilan kelompok, masyarakat dan bangsa sangat diutamakan dalam upaya meningkatkan kemajuan individu.

Keempat, kualitas. Mutu adalah jaminan kualitas. Artinya dalam setiap proses dan hasil produksi di Jepang, mutu menjadi faktor penarik (full factors).

Kelima, kompetisi. Artinya sumber daya manusia dan produk bangsa Jepang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam tata kehidupan dan tata ekonomi global.

C. Pendidikan dan Kemampuan Bersaing Bangsa

Kemampuan bersaing pendidikan kita menghadapi era globalisasi ini sangat lemah dibandingkan dengan negara-negara lain. Hal ini disebabkan karena masih lemahnya sumber daya manusia (SDM) yang ada.

Sebagai contoh kita bisa melihat Tenaga kerja Indonesia (TKI) maupun TKW yang “diekspor” adalah tenaga buruh, seperti: pembantu rumah tangga, perawat, buruh perkebunan, buruh bangunan, sopir dan pekerja kasar lainnya. Sedangkan tenaga kerja asing yang bekerja di Indonesia adalah kalangan pengusaha, investor dan pemilik perusahaan. Pekerja kita amat minim penguasaan pengetahuannya serta rendah kemampuan bahasa asingnya, terutama Bahasa Inggris.

Untuk melacak akar kelemahan SDM Indonesia ini bisa dilihat melalui wahana pendidikan. Dari sini secara logis dimunculkan pemikiran, untuk dapat bersaing dengan bangsa lain dalam memperebutkan lapangan kerja, maka yang harus dibenahi terlebih dahulu adalah sector pendidikan.

Pendidikan harus benar-benar diberdayakan oleh kita semua, sehingga nantinya, pendidikanlah yang akan mampu memberdayakan masyarakat secara luas. Masyarakat yang terberdayakan oleh sistem pendidikan memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam konteks persaingan global.

Konsekuensinya, pendidikan harus dikonseptualisasikan sebagai suatu usaha dan proses pemberdayaan, yang benar-benar harus disadari secara kolektif, baik oleh individu, keluarga, masyarakat, lebih-lebih oleh pemerintah sebagai investasi masa depan bangsa.

Dengan demikian, pendidikan memegang peranan penting dan strategis dalam menghasilkan SDM yang akan membangun bangsa ini. Sikap ini tidak berarti mengecilkan peran sektor lain dalam pembangunan bangsa. Adanya sikap bahwa masa depan akan selalu penting dan strategis ini didasari oleh pertimbangan empirik bahwa selama ini dan juga untuk waktu yang akan datang, keberadaan sumberdaya manusia yang bermutu dalam arti seluas-luasnya akan semakin dibutuhkan bagi pembangunan bangsa.

Kualitas SDM yang diiringi moralitas dan integritas kebangsaan yang kuat: tidak korup, jujur, kreatif, antisipatif dan memiliki visi ke depan diasumsikan akan mempercepat bangsa ini keluar dari krisis yang berlarut-larut. Sebagai perbandingan, dengan dukungan sumber daya manusia yang kuat, negara-negara jiran kita seperti Malaysia, Thailand dan Filipina mengalami kemajuan pesat dalam upaya keluar dari krisis seperti yang dialami bangsa kita. Bahkan untuk kasus Malaysia, negara ini mampu memulihkan (recovey) kondisi ekonominya tanpa perlu mengandalkan bantuan IMF.

Selanjutnya, dalam sektor ekonomi, perkembangan perekonomian nasional, regional dan internasional yang begitu pesat seperti pasar modal, bursa efek, AFTA, NAFTA, APEC dan kesepakatan-kesepakatan ekonomi internasional yang lain, saat ini dan ke depan, semua itu akan menjadi kebutuhan bangsa kita.

Tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, juga akan mengalami pergeseran. Perilaku individualistik akan tumbuh lebih subur daripada rasa kebersamaan. Sementara itu, kehidupan demokratis akan lebih diterima masyarakat ketimbang perilaku yang otoriter. Perilaku egaliter secara vertikal dan horizontal akan lebih menonjol dibanding yang feodal dan paternalistik.

Keterbukaan (transparancy) akan diterima masyarakat. Di sisi lain, semangat nasionalisme dan kesemestaan harus dapat membawa kemajuan bangsa. Janganlah alasan nasionalisme menjadikan bangsa tidak bisa maju dan berkembang. Sebaliknya, semangat kesemestaan tidak dijadikan alasan bangsa ini tercabik dan terinveksi oleh virus globalisasi.

Semua itu, sekali lagi, memerlukan peran signifikan dan antisipasi pendidikan, apakah pendidikan kita mampu mengakomodasi dan memberikan solusi dalam upaya memajukan dan memenangkan kompetisi global yang keras dan ketat, ataukah justru terbelenggu dan asik dalam lingkaran globalisasi.

pengantar pendidikan

PENGANTAR PENDIDIKAN

ILMU PENDIDIKAN

Ilmu Pendidikan memerlukan landasan keilmuan karena pendidikan dapat dijadikan pijakan, arah, serta pilar utama terhadap pengembangan manusia, Bangsa dan Negara untuk selalu berwawasan luas demi tercapainya cita-cita bangsa. Bagi bangsa Indonesia pendidikan diharapkan bias mengusahakan pembangunan manusia pancasila sebagai manusia yang tinggi kualitasnya dan mampu untuk mandiri. Landasan keilmuan itu juga sebagai pemberi dukungan bagi perkembangan masyarakat. Sehingga Ilmu Pendidikan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

LANDASAN-LANDASAN YANG RELEVAN

Landasan Filosofis

Landasan yang berkaitan dengan makna atau hakekat pendidikan, menelaah masalah-masalah pokok seperti apakah pendidikan itu, mengapa pendidikan diperlukan, apa yang seharusnya menjadi tujuannya, dan sebagainya.

Landasan Sosiologis

Kegiatan pendidikan yang merupakan suatu proses interaksi antara dua individu, bahkan dua generasi, yang memungkinkan generasi muda mengembangkan diri.

Landasan Budaya

Landasan yang mempelajari tingkah laku yang dapat diterima kemudian menerapkan tingkah lakunya itu sendiri. Menjadikan anak sebagai anggota masyarakat. Landasn ini juga bertujuan agar pendidikan di Indonesia mengutamakan keseimbangan, keserasian dan keselarasan antara aspek pelestarian nilai-nilai luhur sosial, kebudayaan, dan aspek-aspek pengembangan.

Landasan Psikologi

Landasan yang berkaitan dengan pemahaman peserta didik, utamanya aspek kejiwaan. Psikologi menyediakan informasi tentang kehidupan pribadi manusia serta gejala-gejala aspek pribadi.

Landasan Ekonomi

Landasan ini membahas tentang budaya yang diperlukan dalam pandidikan, hasil dari pendidikan yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan sebagainya.

Landasan Agama

Landasan Agama dalam pendidikan memberikan keterangan bahwa agama berasal dari wahyu yang gerasal dari tuhan(dalam hal ini agama bersifat residental). Dengan landasan ini diharapkan pendidikan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku pada agama.

Antropologi

Landasan ini berkaitan dengan landasan budaya. Dengan adanya landasan antropolgi,peserta didik dapat mengetahui kebudayaan daerah lain.

Hukum

Dengan adanya landasan ini setiap orang akan lebih berhati-hati dalam melakukan kegiatan(berkenaan dengan perilakunya). Jika ia melanggar maka ia akan dikenai hukuman atau sanksi sesuai dengan norma-norma yang berlaku.

Politik

Landasan politik penting untuk melatih jiwa masyarakat,berbangsa dan bertanah air dan juga dap[at dimaknai sebagai suatu studi untuk mengkritisi suatu system pemerintahan dan pemerintah yang bila memungkinkan melakukan penyimpangan amanat.